Bandungsari
Brebes, 2 Desember 2011
Biarlah jika ini adalah kisah usang
Ku dapati dari negeri kemarin
Ku coba usap debu khilaf yang menutupi
Bergeming aku melihat sampulnya
Di
hamparan kenikmatan kemalasan, harapan besar dapat mengikat mendung yang
sungguh aku tak suka melihatnya waktu itu. Jelek menyatir keindahan senjaku. Menjadi
usang di ufuk barat rona senja yang seharusnya semakn jelas.
Perlahan,
gerimis mengiringku menuju dusun sebelah, tanpa aling – aling, toh gerimislah
yang membuat wangi harum kesejukkan tanah, toh germislah yang andil menumbuhkan
hijau rerumputan. Dusun sebelah, tempatku menyuguhkan warga olahan “A B C . . .
. ” menjadi tak terhitung . . . . saling bergandeng merangkai sebuah kata. Keantusiasan
selalu terpancar dari wajah abah dan emak walau hanya belajar denganku yang lemah
pengalaman, dan tentu saja kalah dengan abah dan emak.
Bukan gegabah jemari membuka halaman
Hamparan rasa asing, awalnya
Ku balik lagi tiap lembar
Hingga waktu aku lebih nyaman
Sampai
aku dengan membonceng motor temanku di dusun itu. Beberapa terlihat permukiman
yang dapat dinilai bahwa sebagian penduduk sudah tercukupi perekonomiannya.
Melewati gapura berwarna hijau dan tertempel plang pondok pesantren, kumasuki sebuah
gang. Sepanjang jalan di gang itu, anak – anak kecil berlarian sambil satu
persatu menyerukan “Assalamualaikum Bu guru. . . . “, mereka menyapa aku dan
temanku, selalu mereka lakukan semenjak aku berkeliaran di dusun itu, kubalas
“Waalaikumsalam. . . .” hingga beberapa kali, dengan terus tersenyum ^_^.
Sebuah
rumah besar bercat hijau berkeramik putih yang kadang – kadang binatang tanpa rikuh
membuang kotorannya di teras, dan tinggalkan begitu saja. Yah. . . . namanya juga binatang. Rumah itu memang sedang
ditinggal pergi oleh yang punya dalam hitungan waktu lama. Begitulah jika
ekonomi sudah menuntut, tidak ada pilihan ketika ke negeri seberang dirasa
lebih baik. Seperti biasa keadaan teras rumah ketika aku datang, ruang depan
sudah tidak terpajang sofa duduk, memang sudah dipindahkan ke ruang tengah,
diganti dengan 2 Whiteboard, ruang depan inilah yang digunakan untuk
pembelajaran. Mau tidak mau kupaksa ragaku yang sebenarnya masih menikmati
kemalasan untuk mengambil sapu dan lap pel, sekedar untuk membuat suasana
belajar menjadi lebih nyaman. Dengan beberapa obrolan aku dan temanku menunggu
kedatangan abah dan emak.
Adalakala tidak istimewa
Apalagi dirasa tidak penting
Yang ku nanti, menyeruak kebahagiaan
Kala terlihat wajah sumringah penuh semangat
Sudah
menunjukkan pukul 16.30 WIB, mak Casri dan mak Runtah datang penuh senyum
kesemangatan. Ku ulurkan tanganku untuk bersalaman, “mangga emak, nunggu di
dalam saja. . .” kucoba berbasa – basi. Dengan bahasa sunda yang sedikit
kumengerti emak minta ijin untuk memanggil emak yang lain. Terimakasih emak,
ternyata masyarakat begitu menerima kami, setidaknya begitulah yang kurasakan.
Selang beberapa detik, abah datang. Tidak kalah semangatnya dengan emak tadi,
walau beliaulah satu – satunya abah yang ikut belajar, namun abahlah yang
selalu menyemangati kami semua. Ingatanku kembali pada saat pertama aku singgah
di rumah abah untuk mengajak belajar, kata abah waktu itu “iya, saya pasti
ikut, yang namanya belajar tidak boleh malu walaupun sudah tua”. Dari hatiku
berkata “andai semua orang bisa seperti abah, pemerintah pasti senang sekali
:D. . .”. Kusalami juga tangan abah dan beberapa emak yang sudah datang bersama
dua emak tadi. Melihat senyum emak dan abah seketika rasa malasku terusir oleh
semangatku. Satelah dirasa sudah banyak yang dating, pembelajaranpun dimulai.
Semakin erat persaudaraan tejalin
Seiring waktu dan kebersamaan
Terukir indah dalam catatan hidupku
Oleh – oleh dari negeri kemarin
Maaf
sudah mengganggu dan menyita waktu sorenya ^_^
Semoga
ada kesempatan kita bisa bertemu kembali. . . . . .
Brebes,
Gingga_Elfiky
0 komentar:
Posting Komentar